Rabu, 20 Maret 2013

Antara kebebasan, sanksi, dan penjara.

            Sudah bukan rahasia lagi bahwa hidup adalah sebuah proses dinamika yang tak pernah ada yang bisa menebak, memastikan, apalagi menjamin bahwa segala sesuatunya itu akan berjalan seperti yang kita pikirkan – seperti yang kita harapkan. Adakalanya bisa jadi kita berfikir, andai saja kita bisa melihat apa yang tak jelas, apa yang sebenarnya tersirat dari yang kasat mata, maka seolah semuanya jadi lebih mudah, lebih terterka, tapi, tidakkah disaat yang sama semuanya jadi akan tidak menarik lagi ? terlalu mudah tertebak, terbaca, tidak seru lagi. Tidak asyik. Maka tentang ini, saya jadi ingat salah satu quote dari seorang penulis yang saya sukai tulisan-tulisan nya, yang lebih kurang bunyinya :” adakalanya Tuhan membuat kita tidak tahu tentang sesuatu, tapi bukan berarti Tuhan menyakiti kita, karena bisa jadi Tuhan justru sedang melindungi kita dari tahu itu sendiri “. Memang harus diakui bahwa sebenarnya isi quotenya lebih rapi dari diatas itu, apa daya ternyata ianya tidak tersimpan begitu runut ternyata ^^.


            Nah, ini tentang hidup. Sebagai bagian dari makhluk yang menghuni semesta Tuhan ini, adalah sebuah konsekuensi logis bahwa kita terkadang ikut larut dalam rotasi kehidupan yang ada. Roda-roda kehidupan yang terus berputar tanpa henti. Tanpa jeda, tanpa tunggu, maka ketika adakalanya kita berharap perputaran waktu disemesta ini berhenti sejenak dengan alasan kita yang sedang galau, gelisah, rendah semangat hidup lalu ingin berhenti dan berharap semesta ikut berhenti, ini adalah hal paling mustahil. Kehidupan tetaplah sesuatu yang terus bergerak, dengan atau tanpa kita sukai. Maka dengan keharusan berlapang lada(terlepas itu dilakukan sukarela atau terpaksa), kita harus tetap menjalani kehidupan sebagaimana semestinya. Sebagai pelaku, atau bahkan hanya pengamat segala sesuatu yang berlaku di semesta ini.

            Terkait sebagai pengamat. Dulu, ketika saya masih kecil, menjelang berbuka puasa dimana  seringkali saya menunggui hidangan berbuka dengan setia, ayah yang ketika itu selalu rajin menyalakan radio untuk memperdengarkan dengan jelas nyala alarm ? serunai ? (ok, disini saya lupa harus menyebut apa, apa tulisan ini harus terus berjalan) , “bunyi” yang menandakan bahwa waktu berbuka puasa sudah tiba, adakalanya membuat saya takut. Bukan, saya justru suka dan senang sekali dengan tuntunan : disunnahkan segera berbuka”,  sehingga girang sekali ketika mendengar suara bunyi itu dari radio, tapi yang sering membuat saya khawatir adalah acara sebelum bunyi itu. Berita. Berita yang ada sebelum itu seringkali membuat saya takut hingga menyingkir dan menjauh dari meja makan untuk menunggui hidangan yang dekat dengan radio. Karena ? karena beritanya menyeramkan bagi saya. Belakangan saya baru tahu, itu ceramah, bukan berita. Ceramahnya tentang berbagai macam, meski kebanyakan yang saya tidak mengerti –saat itu- , ada satu edisi yang terdengar menakutkan bagi saya. Tentang ancaman bagi orang-orang yang berbuat salah pada Tuhan. Dosa, neraka, balasan atas kejahatan. Meski ingatan tentang runut dan kesempurnaannya saya lupa sekarang, tapi tak bisa saya lupakan begitu saja hawa ketakutan yang saya rasakan ketika itu. Tanpa mencoba minta penjelasan pada ayah, atau ibu saya untuk mentrasletkan maksud ceramah itu, saya menjauh. Memilih tidak mendengar sepertinya lebih aman dan memilih mendekat ketika –bunyi itu- terdengar. Berbuka puasa, makan.

            Belasan tahun setelah itu.Lalu beberapa bulan ini dan baru saja, saya jadi ingat tentang itu. Tentang hal yang bernama balasan atas perbuatan. Sanksi. Hal-hal sejenis ini yang include dalam hal yang berlabel, balasan atas perbuatan.

Tentang kesalahan manusia pada manusia. Pada tingkat yang paling tinggi, apa yang paling bisa menjadi balasan yang paling ditakutkan oleh manusia ? balasan atas perbuatannya yang paling ia takutkan ? . kita bicara didunia saja. Jika seorang manusia berbuat salah didunia ini, balasan apa yang paling menakutkan ? ditakutkannya ?

            Bagaimana mendetailkan ini ? hm, TV. Media cetak, media elektronik. Info dan tayangan berita disana. Ah, sungguh dilema bicara tentang hal ini karena diluar kapasitas profesional(ini bagian rumit -_-) . maksud saya, berita tentang orang yang berbuat salah “terbukti salah” yang diberitakan di media dan kita menjadi konsumennya. Sadar tidak sadar.  

            Saya berlepas bahwa ini bukan tentang berita2 -yang ada yang menyebutnya konspirasi/ hal2 semacam itu-. Ini tentang yang sederhana saja.Berbuat salah. Isu-diisukan. Diselidiki.berlarut.spasi waktu. Kasak-kusuk. Menyangkal. Lama-lama, dibawa ke kantor polisi, dipenjara.

            Entah kasus kriminal, perkelahian, tawuran, pencurian, atau hal2 sejenis yang jelas mengganggu ketertiban umum. Nah, pada rotasi kehidupan yang kadang ada kalanya berposisi(lebih tepatnya memilih posisi) sebagai pengamat, saya berfikir, kenapa orang-orang yang berbuat kesalahan itu dipenjara ?

            Negara kita negara hukum. Ok fine. Tapi kenapa pihak penegak hukum memilih penjara ? ini murni saya tanya ke diri sendiri. Bingung. Merenung. Lalu sadar, saya paham sekarang. Meski ini bisa jadi hanya jawaban untuk konsumsi saya pribadi, bukan publik.

            Ketika seorang manusia sudah memiliki semuanya. Harta, tahta, kejayaan, dukungan, kemewahan, keglamouran, dan segalanya, segalanya bahkan seolah merasa memiliki seisi dunia, lalu apa yang paling dibutuhkannya ? kalau saya, jawabannya adalah : “ waktu untuk menikmatinya”.

            Iya, waktu untuk menikmati semua yang telah berhasil dimilikinya. Semua yang telah berhasil diperjuangkannya. Dan ketika semua yang didapat dan dimilikinya tidak dengan jalur yang benar, terlebih di dunia ini, khusus di negara kita(negara hukum), ada harga yang harus dibayar. Tebusan. Kompensasi. Dan bisa jadi, hal yang paling menyedihkan yang paling bisa dianggap sebagai tebusan setimpal yang harus dibayar atas pelanggaran adalah : perampasan kebebasan. Merenggut kemerdekaan.

            Kaya ? sehat ? tenar ? banyak pendukung ? punya banyak investasi ? namun ketika tubuh terkungkung di jeruji sana, “kemerdekaan dan kebebasan” ter-penjara, adakah yang lebih menyedihkan dari itu ? punya sarana yang tidak bisa dinikmati.

            Bisa jadi itu korelasinya kenapa penjara harus ada di dunia ini. Sebagai tempat yang terkait erat dengan kata kebebasan, sanksi. Sanksi atas kesalahan yang dilakukan. Kalau bagi pe-salah uang cukup sebagai penebus kesalahannya, itu terlalu mudah bagi si kaya(punya uang). 

Meski uang bukan segalanya, banyak hal yang bisa dilakukan dengan uang adalah fakta yang tak terbantahkan.  Setidaknya saya jadi punya persepsi kenapa penjara harus ada, penegak hukum perlu ada, dan menjalankan fungsi sebaik-baiknya. Dan benar, adakalanya kita harus berdamai dan berbesar hati mengakui, bahwa akan ada saat dimana uang takkan bisa membeli semuanya.

Lalu apa kaitannya dengan rotasi kehidupan yang hadir dibagian awal dengan penjara, sanksi, dan kebebasan dikemudiannya ? . hm, tentang hidup yang penuh dinamika. Bagi kita. Sebagai pengamat atau sebagai pelakon dalam kehidupan yang terus berputar ini. Tentang hikmah, pelajaran yang Tuhan berikan yang bisa dari apa saja, mana saja, kapan saja juga dari siapa saja.

Maka semoga, kita bisa hidup dalam sebuah kebebasan merayakan dan menikmati hidup dengan bingkai tuntunanNya. Berharap dan terus berdo’a semoga Tuhan terus menjaga bingkai itu tetap utuh, dan bersedia menarik kita kembali ketika kita kadang nyaris salah paham dalam mengartikan kebebasan.

Dan sanksi, entahlah. Bagian terkecil yang bisa jadi terdefinisi ketika kesalahan antar manusia adalah rasa bersalah. Namun pada Tuhan ? perasaan berdosa, mengkhiatiNya, semoga terjauhkan dari hal semacam itu.


Lalu penjara diatas penjara yang sesungguhnya paling ingin kita hindari adalah penjara yang memenjarakan kita tumbuh dan berkembang menjadi sebesar impian kita. Penjara ketakutan. Penjara pesimistis. Penjara yang mengecilkan harapan dan impian. Dimana penjara yang kitalah penciptanya, yang sayangnya seringkali kitalah pula yang kemudian menjadi penghuninya.Memenjarakan diri sendiri.

Oh Tuhan, semoga kami tidak termasuk dalam kategori ini. Semoga keberanian kami mencoba banyak hal besar atas nama kebaikan, seberani kami mengucap bahwa kami beriman padaMu. Pada ke-Maha-anMu. Pada semua yang mampu Engkau mungkinkan. Bebaskan (hati) kami pada ketergantungan pada selainMu. Jauhkan kami dari sanksiMu. Bebaskanlah kami tumbuh sebesar impian yang Engkau titip dihati kami, yang disaat yang sama Engkau berikan juga kemampuan meraihnya. Kami hanya butuh sedikit lebih yakin pada diri sendiri. Itu saja.


tentang kebebasan, sanksi, dan penjara. perenungan lama yang terusik baru saja. berkat salah satu tayangan TV(terlihat tanpa sengaja).
cara Tuhan mengajarkan hikmah selalu begitu.pelan, hening, tak terprediksi, tapi selalu saja mempesona ^^.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar