Selasa, 07 April 2015

Kamu, mau dicintai karena apa ?

Suatu hari, dalam sebuah percakapan yang random dengan seorang teman perempuan saya bertanya, kalau suatu hari nanti ada yang bilang cinta, atau mengakui perasaannya dengan serius, kamu berharap dia sukanya sama kamu karena apa ?. Ketika memberikan pertanyaan itu, saya menyiapkan diri untuk menunggu agak lama. Berpikir mungkin saja dia membutuhkan waktu untuk berpikir sebelum memberikan jawaban. Ternyata saya salah, hanya sebentar yang ia butuhkan untuk melihat saya, diam, menggerakkan matanya kesekitar seolah sedang mengumpulkan jawaban yang tertulis diudara lalu jawaban itu keluar, “Aku mau dia sukanya sama aku karena aku adalah aku”. saya terdiam. Tersenyum. Lalu ikut memutar bola mata mengitarai udara (ngapain sih sebenarnya ? :#)), mengangguk pelan lalu tersenyum mengerti. Ini kode kami. Saling paham. Tsaah. !@#$%^&.


            Itu adalah salah satu dari sekian banyak diskusi random yang pernah saya lakukan dengan sahabat perempuan. Dan saking randomnya terkadang tema bisa berubah dan beragam dalam frekuensi yang terlalu cepat dan sulit diikuti oleh orang yang belum terbiasa. Bahkan orang baru bisa kaget dan bakal bertanya, sebenarnya kalian sedang bicarakan tema apa, ? dan kalau sudah begitu kami hanya tersenyum, lalu melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Apa ? tergantung kebutuhan. Gleg.

            Kembali ke-tema random diawal, jangan bayangkan itu terjadi dalam suasana kami sedang membahas tentang cinta atau hal-hal berbau melow dan romantis. Karena tepat setelah sahabat saya itu memberikan jawaban, segera setelahnya kami langsung membahas cuaca hari itu yang terik, panas cerah, dan sayang sekali kami tidak sedang dalam agenda mencuci. Belakangan kami sering bilang alangkah sayangnya kalau teriknya matahari nggak dipake buat mengeringkan pakaian. Ckck.

            Tapi dalam hidup tak ada yang namanya kebetulan kan ?, baru juga kami pernah menyinggung hal itu, beberapa hari kemudian saya mendapati sebuah kisah yang menarik tertulis dibuku pelajaran anak SMP yang relevan dengan bahasan random kami.

            Here we go !

            Ada seorang anak perempuan yang hidup berdua dengan ibunya yang cantik. Single parent yang bekerja. Ayahnya tak pernah ia lihat dan kalau ia menanyakan pada ibunya dimana ayahnya, ibunya bilang ayahnya sudah meninggal. Saat ini ia sudah menjadi siswi SMU. Menjalani kehidupan layaknya remaja pada umumnya, kecuali tentang satu hal ; ia tak punya teman. Tepatnya dijauhi dan menjauhkan diri dari pergaulan. Efek samping dari tidak punya teman main untuk mengisi waktu luang ketika tidak sedang sekolah adalah ia seringkali tak punya pilihan lain untuk mengisi waktunya selain belajar dan terus belajar. Ibunya bekerja jarang bersama. Cukup sudah. Hingga ia masuk dalam jajaran siswa dengan nilai sekolah yang baik dan diatas rata-rata.

            Tapi sesungguhnya menjauh dan dijauhi pergaulan itu adalah hal yang tidak normal bukan ?. Bagaimana bisa kita hidup seimbang dengan begitu ?. Tapi bagi Ani(bukan nama sebenarnya), itu adalah hal yang yang harus dan terpaksa ia lakukan. Sejak kejadian itu, ketika ia masih sebagai pelajar Sekolah Dasar.

            Suatu waktu ketika masih SD, ia berjalan dari kelasnya dilantai 2 dan ingin menuju kantin sekolah lewat tangga. Diujung tangga yang akan dilewatinya, ia melihat kerumunan teman-teman sebayanya sedang mengerubuti seseorang. Ia tahu, itu adalah bapak penjaga sekolah yang jago bercerita dan selalu membuat anak-anak SD itu rela lama-lama mendengarkan ceritanya. Ia juga sebenarnya. Hari itu ketika melintas ia mendengar pak penjaga sekolah sedang bercerita, “Sekolah ini ada jin penunggu. Hidup dengan anaknya. Kalau kubayangkan anak jin itu, dia mirip dengan,,,,,” mata penjaga sekolah yang sedang bercerita menelusuri sekitar hingga berhenti pada Ani yang sedang ingin turun ditangga. “Kamu, iya kamu. Anak jin itu mirip dengan kamu.” Lalu beliau tertawa. Diikuti semua anak-anak disitu yang tak lain adalah pelajar SD dan beberapa temannya sendiri. Penjaga sekolah mungkin merasa telah menemukan pengandaian yang tepat. Teman-temannya merasa itu lucu. Tapi bagi Ani ?, jelas itu tidak lucu sama sekali. Ia terpaku disana, merasakan matanya memanas dan malu yang melanda. (Ah, saya tidak habis pikir sebenarnya bagian ini, orang dewasa mana yang bisa berkata seperti ini ? bahkan dalam konteks bercandapun itu tidak pantas dilakukan kan ? pada anak SD ? oh come on!. #sabarLa,sabar. Cerita belum selesai. Hm. :#).)

            Hanya butuh waktu sebentar sampai olokan itu beredar kelebih banyak orang. Ejekan ia mirip dengan anak jin. Ia dipanggil anak jin dan ejekan itu terus didengungkan. Saat itu Ani merasa tak ada lagi yang mau berteman dan ia tak butuh lagi berteman. Sangat wajar kemudian Ani menjadi anak yang pemurung dan menutup diri. Terlebih ketika ia menyadari, bagaimana mungkin pak penjaga sekolah tidak mengandaikannya sebagai anak jin ?, ia meneliti fisiknya, rambut gimbalnya yang acakadut dan tak pernah berhasil disisir rapi, kulitnya gelap dan bersisik, dan sepasang matanya seolah ingin mencelat keluar. Ia mengeluh dalam hati, tampangnya mungkin memang begitu wajar disangka semacam itu, tapi tetap saja terasa menyakitkan. Terlebih ejekan itu terus menempel dan mengikuti hingga sekarang.

            Meski begitu sejak kejadian ketika SD, Ani terus melanjutkan sekolah hingga sekarang telah jadi siswi SMU. Lalu kejadian lain muncul. Bagaimanapun, Ani adalah salah satu anak yang tetap saja mengalami masa-masa pubertas. Suatu hari iasatu  mendekati salah teman sekelasnya yang laki-laki. Sebut namanya Ano(juga bukan nama sebenarnya, hihi). Sepulang sekolah dan teman – temannya keluar kelas untuk pulang, Ani mendekati meja Ano dan bilang hai. Ano otomatis terkejut. Ini kejadian langka. Ani yang dikenal jarang bergaul tiba – tiba bilang hai dan menyapa lebih dulu. Meski terkejut Ano membalas. Yang mengejutkan adalah apa yang Ani bilang kemudian. “Aku menyukai seorang siswa laki-laki dan berniat mengatakan padanya lewat surat, bisakah kau membantuku menuliskan suratnya ? aku tidak bisa soal itu.” Ini lebih mengejutkan mungkin bagi Ano. Tapi mengingat teman, ia bersedia membantu. Ia menuliskan surat yang isinya seperti yang diinginkan Ani. Setelah selesai, ia menunjukkannya dan Ani bilang itu sudah sesuai seperti yang diinginkan dan dimaksudkannya.

            “Ini suratmu selesai, “ kata Ano mengangsurkan surat itu pada Ani dan berniat pulang.

            “Terimakasih, sekarang bawalah surat itu pulang,” jawab Ani.

            “Kenapa ? bukankah ini untuk orang yang kau sukai ?,”

            “Iya, aku sudah berpikir dan orang yang kusukai itu adalah kamu.” Balas Ani.

            Saya, pada tahapan ini nyaris merasa semacam ada suara gleg yang berulang dikerongkongan. Satu karena tiba-tiba berpikir darimana Ani mendapatkan kekuatan dan keberanian juga keberanian semacam itu, dan kedua bagaimana perasaan Ano ?. tapi lupakan. Ini tentang Ani dan Ano, bukan saya, *pletak.

            Kali ini Ano tak lagi bisa mencoba paham. Ia sontak marah. “Kau pikir kau siapa ? beraninya suka padaku, kau itu jelek dan bla bla...” ia mengatai Ani sambil merobek – robek surat yang ia tulis barusan. Entah mungkin ia merasa aneh sekaligus horor menjadi orang yang dituju dari surat yang dituliskan oleh dirinya sendiri(?), terlebih itu surat cinta. Heu. Lalu seperti dalam drama, setelah marah-marah, ia pergi meninggalkan Ani yang kini terluka. Lagi. Lagi-lagi karena alasan yang dulu menyakitinya. Fisiknya. Ani tahu mungkin Ano merasa seolah takut disukai oleh gadis sepertinya. Tapi agaknya penolakan Ano dan yang terjadi hari ini sudah terasa jauh lebih menyakitkan dari semua penghinaan dan ejekan serta olokan yang ia terima selama ini. Terlebih yang membuatnya lebih tidak bisa terima adalah, kenapa ia jelek, sementara ibunya cantik ? dan ia tak pernah tahu alasan kenapa mereka begitu berbeda sebagai ibu dan anak ?.

            Ia pulang. Menemukan ibunya sedang meneliti laporan – laporan soal pekerjaannya di pabrik sepatu. Tak tahan lagi, ia yang memang sudah daritadi menangis dan ibunya mendapatinya dalam kondisi tampilan berantakan ikut bertanya.

            Semuanya tumpah ruah. Ia mengadukan semua ejekan, hinaan, dan celaan orang – orang termasuk temannya yang disebabkan oleh kekurangan fisiknya bahkan penolakan yang menyakitkan hanya karena ia menyukai seseorang. Ibunya berusaha menghiburnya. Mengingatkan untuk membiarkan saja ejekan-ejekan orang lain, bersabar dan semacamnya. Tapi kali ini semuanya terlalu berat bagi Ani. Ia terisak berat. Bahkan mengeluarkan pertanyaan itu, “Apakah Ani benar anak Mama ? kalau ia kenapa kita bisa berbeda sekali ? Ani jelek sementara Mama begitu cantik. Kenapa Ma ? jujur sama Ani.”

            Ibunya masih mencoba menghibur sampai akhirnya Ani bicara soal bagaimana ketika SD ia mendapatkan ejekan anak jin karena fisiknya. Ibunya terkejut. Menangis. Ah, orangtua mana yang tak terluka anaknya dihina ? :”(. Ani tak pernah menceritakan hal ini padanya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana putrinya memendam semua hinaan dan rasa sakit itu sendirian. “Tolong Ma, jujurlah pada Ani sekarang. Kenapa kita berbeda. Apakah benar Ani anak Mama?.” isaknya lagi.

            Setelah mendengar semuanya, ibunya menghela nafas lalu memutuskan bercerita, “Kamu anak Mama Ani. Benar-benar anak Mama. Kita mirip.” Ujar ibunya yang dibalas lalu kenapa ?.

            Ibunya melanjutkan. “Dulu ibu adalah anak yang fisiknya seperti kamu. Orang – orang menyebut ibu jelek. Ibu sering diejek, diolok dan dikucilkan teman-teman hingga akhirnya nenekmu yang kasian melihat ibu, memutuskan melakukan sesuatu untuk mengakhiri hal itu. Nenek membiayai sebuah operasi plastik untuk ibu hingga ibu berubah cantik seperti yang kamu lihat. Saat itu, ketika akhirnya ibu masuk perguruan tinggi, semua seolah berubah. Begitu banyak yang ingin berteman dan menjadi sahabat ibu. Bahkan banyak laki-laki yang berusaha mendekati. Hingga akhirnya ibu menikah dengan ayahmu, seorang laki-laki yang amat tampan.” Ibunya berhenti, menghela nafas sebelum kemudian melanjutkan.

            “Kami hidup bahagia. Sampai akhirnya ibu hamil dan kamu lahir. Saat itulah, sesuatu yang mengkhawatirkan terjadi. Bayi yang lahir itu seolah terlahir dari orangtua yang berbeda. Seolah tak mungkin lahir dari seorang ibu yang cantik dan ayah yang tampan. Ayahmu bahkan sampai mencurigai kalau itu bukan anaknya dan kami bertengkar. Sampai akhirnya nenekmu mengajak kami bicara. Ia membantu ibu menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya pada ayahmu. Bahwa sebenarnya, ibu pernah melakukan operasi plastik hingga bisa seperti yang ia lihat. Gadis cantik yang ia nikahi. Sebelumnya ia hanyalah gadis yang sering mendapatkan olokan karena fisiknya. “ Ani masih menunggu. Cerita ibunya belum selesai.

            “Tapi penjelasan itu tak meredam kemarahan ayahmu nak. Ayahmu marah besar dan merasa tertipu. Ia tetap saja merasa seolah itu bukan anaknya. Puncaknya ia pergi meninggalkan ibu. Meninggalkan kita. Ibu minta maaf mengatakan ayahmu sudah meninggal, ibu tak ingin kamu terluka karena ini. Sejak kejadian itu, ibu tahu kami telah melakukan kesalahan. Nenekmu, dan juga ibu. Maka meskipun sekarang fisikmu seperti ini, ibu tak ingin melakukan kesalahan yang sama padamu nak. Ibu tak ingin kejadian yang menimpa ibu terulang padamu.”

            Cerita itu, sungguh membuat saya yang bahkan membacanya dalam suasana hari yang panas seolah tiba-tiba dilingkupi rasa hangat dan dingin secara bersamaan didalam hati. Membuat mata menatap nanar kalimat yang seolah nyaris terlihat mulai naik turun. Saya terharu, hiks.

            Dan ini lebih menyakitkan lagi buat ibu dan anak itu. Kisah itu diceritakan ibunya sambil berurai air mata dan berulangkali menarik nafas untuk menenangkan diri. Bahkan Ani, yang terus menyimak cerita itu telah berurai airmata. Ia tahu sekarang ibunya juga menyimpan luka sepertinya. “Maafkan ibu nak. Maafkan ibu.” Ani memeluk ibunya, kemarahannya berganti dengan rasa sayang, rasa bersalah dan menyesal seolah telah menyalahkan ibunya. Yang lebih mengharukan kemudian adalah apa yang dinasehatkan ibunya pada Ani sambil menangkupi wajah anaknya itu dengan tangannya.

            “Karena itu nak, ibu tidak ingin mengulang kesalahan yang sama padamu. Ibu percaya selama kamu berusaha bersikap baik, suatu hari nanti akan ada orang yang menyukaimu apa adanya. Bukan karena kamu berpura – pura. Bukan karena fisikmu saja. Ibu berharap kamu hidup dengan bahagia dengan belajar menerima dirimu sendiri. Bersyukur bagaimanapun dirimu dan suatu hari ibu percaya akan ada orang yang mencintaimu dengan tulus.” Keduanya berpelukan. Ibu dan anak yang sama, tapi kali ini tentu saja dengan pemahaman hidup yang sudah jauh berbeda.

            Cerita itu, saya baca dari sebuah buku murid SMP yang belajar dengan kami. Setelah baca itu saya sulit sekali untuk melupakannya. Tapi tetap saja, menceritakannya kembali tetaplah tidak sama kan ?. Maka saya berharap bahkan menuliskannya kembali tetap tidak mengurangi esensi pelajarannya.

            Betapa besar hikmah yang bisa kita ambil dari kisah ini bukan ?.
            Bahwa inti dari sebuah kebahagiaan terhadap diri sendiri adalah belajar menerima dan mensyukuri keadaan kita bagaimanapun adanya. Nyaman dengan diri sendiri. Ani mungkin dari awal mendapati dirinya terusik dengan penampilan fisiknya, yang begitu mudahnya bagi orang lain menjadi bahan celaan. Terlebih ia merasa jelek dan ibunya cantik. Mungkin ia belum menemukan nasehat yang mengingatkan, bahwa tampilan fisik tidak selalu punya peran penting dalam kehidupan. Butuh lebih dari sekedar cantik fisik untuk merasa bahagia dalam menjalani hidup ini.

            Bahwa dari awal, jangan pernah membenci diri sendiri dan berfokus justru pada kekurangan kita dan melupakan kelebihan kita. Ani mungkin merasa dirinya tidak cukup menarik dari segi fisik, tapi mungkin ia terlupa bahwa bukankah ia seorang murid perempuan yang cerdas ?. :).

            Diatas semuanya, tak peduli bagaimanapun orang lain memandang dirinya, kekurangannya, fisiknya, ia harusnya bersyukur ia masih punya ibu yang begitu mencintainya bukan ?.

                dan juga hal yang tak kalah penting, Ani mungkin butuh belajar bagaimana menghadapi masa-masa pubertas dan menghadapi hal terkait perasaan dan cinta remaja, agar tidak mudah galau soal begitu :).

            Hufft. Menuliskan ini bahkan membuat saya jadi berpikir banyak hal. Bahkan menyangkut – pautkannya dengan pertanyaan pada sahabat perempuan itu. “Suatu hari, kalau ada yang mengaku cinta dan serius, aku berharap itu karena aku adalah aku.” Saya baru sadar, jawaban dia itu ternyata terdengar lebih so sweet setelah saya mendapati kisah Ani ini. :”).

            Maka semoga, kita adalah pribadi yang selalu berusaha bersyukur dengan diri kita sendiri. Menerima lapang hati apapun yang telah Tuhan anugrahkan buat kita. Baik fisik, keluarga, ekonomi, pendidikan, dan semuanya. Bahkan kesempatan untuk hidup saja sudah begitu luarbiasa bukan ?. 

lalu hidup dengan terus memperbaiki diri. menajamkan dan mendalamkan kemampuan kita. fokus pada kelebihan. lalu kita akan mendapati diri menjadi pribadi yang semakin baik dari waktu ke waktu. dan dengan begitu, Tuhan juga akan mendatangkan hal2 yang baik bagi kita dalam berbagai sisi. 

            Terakhir, soal cinta. Semoga kita bukanlah jenis pribadi yang hanya akan mencintai dan dicintai karena fisik. Menyedihkan sekali kalau begitu bukan ?. Karena sebenarnya, sudah banyak bahkan nasehat kebaikan yang mengingatkan, cinta sejati tak tak pernah (hanya) soal cantik atau tampan. Tak pernah. Dimata manusia, apalagi dimata Tuhan.

“Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.”
— Tere Liye, buku “Berjuta Rasanya"

Maka Tuhan, Jika suatu hari kami jatuh cinta, jatuh cinta-kanlah kami dan buat kami dijatuh cintai oleh seseorang yang mencintaiMu dan menyukuri dirinya sendiri serta mencintai sesama. Dengan begitu kami akan saling mendapati bahwa cinta kami bukanlah sekedar cinta biasa. dihadapan manusia, terlebih dihadapanMu.
Amin.



Laila Khalidah.
Rabu, 8 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar