Suatu hari, dalam sebuah percakapan yang random dengan seorang
teman perempuan saya bertanya, kalau suatu hari nanti ada yang bilang cinta,
atau mengakui perasaannya dengan serius, kamu berharap dia sukanya sama kamu
karena apa ?. Ketika memberikan pertanyaan itu, saya menyiapkan diri untuk
menunggu agak lama. Berpikir mungkin saja dia membutuhkan waktu untuk berpikir
sebelum memberikan jawaban. Ternyata saya salah, hanya sebentar yang ia
butuhkan untuk melihat saya, diam, menggerakkan matanya kesekitar seolah sedang
mengumpulkan jawaban yang tertulis diudara lalu jawaban itu keluar, “Aku mau
dia sukanya sama aku karena aku adalah aku”. saya terdiam. Tersenyum. Lalu ikut
memutar bola mata mengitarai udara (ngapain sih sebenarnya ? :#)), mengangguk
pelan lalu tersenyum mengerti. Ini kode kami. Saling paham. Tsaah. !@#$%^&.
Itu adalah salah satu dari sekian banyak diskusi random yang pernah saya
lakukan dengan sahabat perempuan. Dan saking randomnya terkadang tema bisa
berubah dan beragam dalam frekuensi yang terlalu cepat dan sulit diikuti oleh
orang yang belum terbiasa. Bahkan orang baru bisa kaget dan bakal bertanya,
sebenarnya kalian sedang bicarakan tema apa, ? dan kalau sudah begitu kami
hanya tersenyum, lalu melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Apa ? tergantung
kebutuhan. Gleg.
Kembali ke-tema random diawal, jangan bayangkan itu terjadi dalam suasana kami
sedang membahas tentang cinta atau hal-hal berbau melow dan romantis. Karena
tepat setelah sahabat saya itu memberikan jawaban, segera setelahnya kami
langsung membahas cuaca hari itu yang terik, panas cerah, dan sayang sekali
kami tidak sedang dalam agenda mencuci. Belakangan kami sering bilang alangkah
sayangnya kalau teriknya matahari nggak dipake buat mengeringkan pakaian. Ckck.
Tapi dalam hidup tak ada yang namanya kebetulan kan ?, baru juga kami pernah
menyinggung hal itu, beberapa hari kemudian saya mendapati sebuah kisah yang
menarik tertulis dibuku pelajaran anak SMP yang relevan dengan bahasan random
kami.
Here we go !
Ada seorang anak perempuan yang hidup berdua dengan ibunya yang cantik. Single
parent yang bekerja. Ayahnya tak pernah ia lihat dan kalau ia menanyakan pada
ibunya dimana ayahnya, ibunya bilang ayahnya sudah meninggal. Saat ini ia sudah
menjadi siswi SMU. Menjalani kehidupan layaknya remaja pada umumnya, kecuali
tentang satu hal ; ia tak punya teman. Tepatnya dijauhi dan menjauhkan diri
dari pergaulan. Efek samping dari tidak punya teman main untuk mengisi waktu
luang ketika tidak sedang sekolah adalah ia seringkali tak punya pilihan lain
untuk mengisi waktunya selain belajar dan terus belajar. Ibunya bekerja jarang
bersama. Cukup sudah. Hingga ia masuk dalam jajaran siswa dengan nilai sekolah
yang baik dan diatas rata-rata.
Tapi sesungguhnya menjauh dan dijauhi pergaulan itu adalah hal yang tidak
normal bukan ?. Bagaimana bisa kita hidup seimbang dengan begitu ?. Tapi bagi
Ani(bukan nama sebenarnya), itu adalah hal yang yang harus dan terpaksa ia
lakukan. Sejak kejadian itu, ketika ia masih sebagai pelajar Sekolah Dasar.
Suatu waktu ketika masih SD, ia berjalan dari kelasnya dilantai 2 dan ingin
menuju kantin sekolah lewat tangga. Diujung tangga yang akan dilewatinya, ia
melihat kerumunan teman-teman sebayanya sedang mengerubuti seseorang. Ia tahu,
itu adalah bapak penjaga sekolah yang jago bercerita dan selalu membuat
anak-anak SD itu rela lama-lama mendengarkan ceritanya. Ia juga sebenarnya.
Hari itu ketika melintas ia mendengar pak penjaga sekolah sedang bercerita,
“Sekolah ini ada jin penunggu. Hidup dengan anaknya. Kalau kubayangkan anak jin
itu, dia mirip dengan,,,,,” mata penjaga sekolah yang sedang bercerita
menelusuri sekitar hingga berhenti pada Ani yang sedang ingin turun ditangga.
“Kamu, iya kamu. Anak jin itu mirip dengan kamu.” Lalu beliau tertawa. Diikuti
semua anak-anak disitu yang tak lain adalah pelajar SD dan beberapa temannya
sendiri. Penjaga sekolah mungkin merasa telah menemukan pengandaian yang tepat.
Teman-temannya merasa itu lucu. Tapi bagi Ani ?, jelas itu tidak lucu sama
sekali. Ia terpaku disana, merasakan matanya memanas dan malu yang melanda.
(Ah, saya tidak habis pikir sebenarnya bagian ini, orang dewasa mana yang bisa
berkata seperti ini ? bahkan dalam konteks bercandapun itu tidak pantas
dilakukan kan ? pada anak SD ? oh come on!. #sabarLa,sabar. Cerita belum
selesai. Hm. :#).)
Hanya butuh waktu sebentar sampai olokan itu beredar kelebih banyak orang.
Ejekan ia mirip dengan anak jin. Ia dipanggil anak jin dan ejekan itu terus
didengungkan. Saat itu Ani merasa tak ada lagi yang mau berteman dan ia tak
butuh lagi berteman. Sangat wajar kemudian Ani menjadi anak yang pemurung dan
menutup diri. Terlebih ketika ia menyadari, bagaimana mungkin pak penjaga
sekolah tidak mengandaikannya sebagai anak jin ?, ia meneliti fisiknya, rambut
gimbalnya yang acakadut dan tak pernah berhasil disisir rapi, kulitnya gelap
dan bersisik, dan sepasang matanya seolah ingin mencelat keluar. Ia mengeluh
dalam hati, tampangnya mungkin memang begitu wajar disangka semacam itu, tapi
tetap saja terasa menyakitkan. Terlebih ejekan itu terus menempel dan mengikuti
hingga sekarang.
Meski begitu sejak kejadian ketika SD, Ani terus melanjutkan sekolah hingga
sekarang telah jadi siswi SMU. Lalu kejadian lain muncul. Bagaimanapun, Ani
adalah salah satu anak yang tetap saja mengalami masa-masa pubertas. Suatu hari
iasatu mendekati salah teman sekelasnya yang laki-laki. Sebut namanya
Ano(juga bukan nama sebenarnya, hihi). Sepulang sekolah dan teman – temannya
keluar kelas untuk pulang, Ani mendekati meja Ano dan bilang hai. Ano otomatis
terkejut. Ini kejadian langka. Ani yang dikenal jarang bergaul tiba – tiba
bilang hai dan menyapa lebih dulu. Meski terkejut Ano membalas. Yang
mengejutkan adalah apa yang Ani bilang kemudian. “Aku menyukai seorang siswa
laki-laki dan berniat mengatakan padanya lewat surat, bisakah kau membantuku
menuliskan suratnya ? aku tidak bisa soal itu.” Ini lebih mengejutkan mungkin
bagi Ano. Tapi mengingat teman, ia bersedia membantu. Ia menuliskan surat yang
isinya seperti yang diinginkan Ani. Setelah selesai, ia menunjukkannya dan Ani
bilang itu sudah sesuai seperti yang diinginkan dan dimaksudkannya.
“Ini suratmu selesai, “ kata Ano mengangsurkan surat itu pada Ani dan berniat
pulang.
“Terimakasih, sekarang bawalah surat itu pulang,” jawab Ani.
“Kenapa ? bukankah ini untuk orang yang kau sukai ?,”
“Iya, aku sudah berpikir dan orang yang kusukai itu adalah kamu.” Balas Ani.
Saya, pada tahapan ini nyaris merasa semacam ada suara gleg yang berulang
dikerongkongan. Satu karena tiba-tiba berpikir darimana Ani mendapatkan kekuatan
dan keberanian juga keberanian semacam itu, dan kedua bagaimana perasaan Ano ?.
tapi lupakan. Ini tentang Ani dan Ano, bukan saya, *pletak.
Kali ini Ano tak lagi bisa mencoba paham. Ia sontak marah. “Kau pikir kau siapa
? beraninya suka padaku, kau itu jelek dan bla bla...” ia mengatai Ani sambil
merobek – robek surat yang ia tulis barusan. Entah mungkin ia merasa aneh
sekaligus horor menjadi orang yang dituju dari surat yang dituliskan oleh
dirinya sendiri(?), terlebih itu surat cinta. Heu. Lalu seperti dalam drama,
setelah marah-marah, ia pergi meninggalkan Ani yang kini terluka. Lagi.
Lagi-lagi karena alasan yang dulu menyakitinya. Fisiknya. Ani tahu mungkin Ano
merasa seolah takut disukai oleh gadis sepertinya. Tapi agaknya penolakan Ano dan
yang terjadi hari ini sudah terasa jauh lebih menyakitkan dari semua penghinaan
dan ejekan serta olokan yang ia terima selama ini. Terlebih yang membuatnya
lebih tidak bisa terima adalah, kenapa ia jelek, sementara ibunya cantik ? dan
ia tak pernah tahu alasan kenapa mereka begitu berbeda sebagai ibu dan anak ?.
Ia pulang. Menemukan ibunya sedang meneliti laporan – laporan soal pekerjaannya
di pabrik sepatu. Tak tahan lagi, ia yang memang sudah daritadi menangis dan
ibunya mendapatinya dalam kondisi tampilan berantakan ikut bertanya.
Semuanya tumpah ruah. Ia mengadukan semua ejekan, hinaan, dan celaan orang –
orang termasuk temannya yang disebabkan oleh kekurangan fisiknya bahkan
penolakan yang menyakitkan hanya karena ia menyukai seseorang. Ibunya berusaha
menghiburnya. Mengingatkan untuk membiarkan saja ejekan-ejekan orang lain,
bersabar dan semacamnya. Tapi kali ini semuanya terlalu berat bagi Ani. Ia
terisak berat. Bahkan mengeluarkan pertanyaan itu, “Apakah Ani benar anak Mama
? kalau ia kenapa kita bisa berbeda sekali ? Ani jelek sementara Mama begitu
cantik. Kenapa Ma ? jujur sama Ani.”
Ibunya masih mencoba menghibur sampai akhirnya Ani bicara soal bagaimana ketika
SD ia mendapatkan ejekan anak jin karena fisiknya. Ibunya terkejut. Menangis.
Ah, orangtua mana yang tak terluka anaknya dihina ? :”(. Ani tak pernah
menceritakan hal ini padanya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana putrinya
memendam semua hinaan dan rasa sakit itu sendirian. “Tolong Ma, jujurlah pada
Ani sekarang. Kenapa kita berbeda. Apakah benar Ani anak Mama?.” isaknya lagi.
Setelah mendengar semuanya, ibunya menghela nafas lalu memutuskan bercerita,
“Kamu anak Mama Ani. Benar-benar anak Mama. Kita mirip.” Ujar ibunya yang
dibalas lalu kenapa ?.
Ibunya melanjutkan. “Dulu ibu adalah anak yang fisiknya seperti kamu. Orang –
orang menyebut ibu jelek. Ibu sering diejek, diolok dan dikucilkan teman-teman
hingga akhirnya nenekmu yang kasian melihat ibu, memutuskan melakukan sesuatu
untuk mengakhiri hal itu. Nenek membiayai sebuah operasi plastik untuk ibu
hingga ibu berubah cantik seperti yang kamu lihat. Saat itu, ketika akhirnya
ibu masuk perguruan tinggi, semua seolah berubah. Begitu banyak yang ingin
berteman dan menjadi sahabat ibu. Bahkan banyak laki-laki yang berusaha
mendekati. Hingga akhirnya ibu menikah dengan ayahmu, seorang laki-laki yang
amat tampan.” Ibunya berhenti, menghela nafas sebelum kemudian melanjutkan.
“Kami hidup bahagia. Sampai akhirnya ibu hamil dan kamu lahir. Saat itulah,
sesuatu yang mengkhawatirkan terjadi. Bayi yang lahir itu seolah terlahir dari
orangtua yang berbeda. Seolah tak mungkin lahir dari seorang ibu yang cantik
dan ayah yang tampan. Ayahmu bahkan sampai mencurigai kalau itu bukan anaknya
dan kami bertengkar. Sampai akhirnya nenekmu mengajak kami bicara. Ia membantu
ibu menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya pada ayahmu. Bahwa sebenarnya, ibu
pernah melakukan operasi plastik hingga bisa seperti yang ia lihat. Gadis
cantik yang ia nikahi. Sebelumnya ia hanyalah gadis yang sering mendapatkan
olokan karena fisiknya. “ Ani masih menunggu. Cerita ibunya belum selesai.
“Tapi penjelasan itu tak meredam kemarahan ayahmu nak. Ayahmu marah besar dan
merasa tertipu. Ia tetap saja merasa seolah itu bukan anaknya. Puncaknya ia
pergi meninggalkan ibu. Meninggalkan kita. Ibu minta maaf mengatakan ayahmu
sudah meninggal, ibu tak ingin kamu terluka karena ini. Sejak kejadian itu, ibu
tahu kami telah melakukan kesalahan. Nenekmu, dan juga ibu. Maka meskipun
sekarang fisikmu seperti ini, ibu tak ingin melakukan kesalahan yang sama
padamu nak. Ibu tak ingin kejadian yang menimpa ibu terulang padamu.”
Cerita itu, sungguh membuat saya yang bahkan membacanya dalam suasana hari yang
panas seolah tiba-tiba dilingkupi rasa hangat dan dingin secara bersamaan
didalam hati. Membuat mata menatap nanar kalimat yang seolah nyaris terlihat
mulai naik turun. Saya terharu, hiks.
Dan ini lebih menyakitkan lagi buat ibu dan anak itu. Kisah itu diceritakan
ibunya sambil berurai air mata dan berulangkali menarik nafas untuk menenangkan
diri. Bahkan Ani, yang terus menyimak cerita itu telah berurai airmata. Ia tahu
sekarang ibunya juga menyimpan luka sepertinya. “Maafkan ibu nak. Maafkan ibu.”
Ani memeluk ibunya, kemarahannya berganti dengan rasa sayang, rasa bersalah dan
menyesal seolah telah menyalahkan ibunya. Yang lebih mengharukan kemudian
adalah apa yang dinasehatkan ibunya pada Ani sambil menangkupi wajah anaknya
itu dengan tangannya.
“Karena itu nak, ibu tidak ingin mengulang kesalahan yang sama padamu. Ibu
percaya selama kamu berusaha bersikap baik, suatu hari nanti akan ada orang
yang menyukaimu apa adanya. Bukan karena kamu berpura – pura. Bukan karena
fisikmu saja. Ibu berharap kamu hidup dengan bahagia dengan belajar menerima
dirimu sendiri. Bersyukur bagaimanapun dirimu dan suatu hari ibu percaya akan
ada orang yang mencintaimu dengan tulus.” Keduanya berpelukan. Ibu dan anak
yang sama, tapi kali ini tentu saja dengan pemahaman hidup yang sudah jauh
berbeda.
Cerita itu, saya baca dari sebuah buku murid SMP yang belajar dengan kami.
Setelah baca itu saya sulit sekali untuk melupakannya. Tapi tetap saja,
menceritakannya kembali tetaplah tidak sama kan ?. Maka saya berharap bahkan
menuliskannya kembali tetap tidak mengurangi esensi pelajarannya.
Betapa besar hikmah yang bisa kita ambil dari kisah ini bukan ?.
Bahwa inti dari sebuah kebahagiaan terhadap diri sendiri adalah belajar menerima
dan mensyukuri keadaan kita bagaimanapun adanya. Nyaman dengan diri sendiri.
Ani mungkin dari awal mendapati dirinya terusik dengan penampilan fisiknya,
yang begitu mudahnya bagi orang lain menjadi bahan celaan. Terlebih ia merasa
jelek dan ibunya cantik. Mungkin ia belum menemukan nasehat yang mengingatkan,
bahwa tampilan fisik tidak selalu punya peran penting dalam kehidupan. Butuh
lebih dari sekedar cantik fisik untuk merasa bahagia dalam menjalani hidup ini.
Bahwa dari awal, jangan pernah membenci diri sendiri dan berfokus justru pada
kekurangan kita dan melupakan kelebihan kita. Ani mungkin merasa dirinya tidak
cukup menarik dari segi fisik, tapi mungkin ia terlupa bahwa bukankah ia
seorang murid perempuan yang cerdas ?. :).
Diatas semuanya, tak peduli bagaimanapun orang lain memandang dirinya,
kekurangannya, fisiknya, ia harusnya bersyukur ia masih punya ibu yang begitu
mencintainya bukan ?.
dan juga hal yang tak kalah penting, Ani
mungkin butuh belajar bagaimana menghadapi masa-masa pubertas dan menghadapi
hal terkait perasaan dan cinta remaja, agar tidak mudah galau soal begitu :).
Hufft. Menuliskan ini bahkan membuat saya jadi berpikir banyak hal. Bahkan
menyangkut – pautkannya dengan pertanyaan pada sahabat perempuan itu. “Suatu
hari, kalau ada yang mengaku cinta dan serius, aku berharap itu karena aku
adalah aku.” Saya baru sadar, jawaban dia itu ternyata terdengar lebih so sweet
setelah saya mendapati kisah Ani ini. :”).
Maka semoga, kita adalah pribadi yang selalu berusaha bersyukur dengan diri
kita sendiri. Menerima lapang hati apapun yang telah Tuhan anugrahkan buat
kita. Baik fisik, keluarga, ekonomi, pendidikan, dan semuanya. Bahkan
kesempatan untuk hidup saja sudah begitu luarbiasa bukan ?.
lalu hidup dengan terus memperbaiki diri.
menajamkan dan mendalamkan kemampuan kita. fokus pada kelebihan. lalu kita akan
mendapati diri menjadi pribadi yang semakin baik dari waktu ke waktu. dan
dengan begitu, Tuhan juga akan mendatangkan hal2 yang baik bagi kita dalam
berbagai sisi.
Terakhir, soal cinta. Semoga kita bukanlah jenis pribadi
yang hanya akan mencintai dan dicintai karena fisik. Menyedihkan sekali kalau
begitu bukan ?. Karena sebenarnya, sudah banyak bahkan nasehat kebaikan yang
mengingatkan, cinta sejati tak tak pernah (hanya) soal cantik atau tampan. Tak
pernah. Dimata manusia, apalagi dimata Tuhan.
“Seseorang yang mencintaimu karena fisik,
maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang
menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi.
Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi!
Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau
lebih buruk.”
— Tere Liye, buku “Berjuta Rasanya"
Maka Tuhan, Jika suatu hari kami
jatuh cinta, jatuh cinta-kanlah kami dan buat kami dijatuh cintai oleh
seseorang yang mencintaiMu dan menyukuri dirinya sendiri serta mencintai
sesama. Dengan begitu kami akan saling mendapati bahwa cinta kami bukanlah
sekedar cinta biasa. dihadapan manusia, terlebih dihadapanMu.
Amin.
Laila Khalidah.
Rabu, 8 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar